Ayo Kita Kembali ke Merah Putih!
“Berkibarlah benderaku.
Lambang suci, gagah perwira.
Di seluruh pantai Indonesia.
Kau tetap pujaan bangsa….“
Penggalan lirik lagu ciptaan Ibu Soed di atas mengekspresikan kebanggaan rakyat Indonesia pada benderanya. Sebagaimana diperingati setiap tahun sebagai hari kemerdekaan. 17 Agustus baru saja berlalu, tetapi rakyat Indonesia di seluruh dunia masih merayakannya. Secara besar-besaran ataupun sederhana, gema semangat kemerdekaan selalu menggelora di dalam dada setiap anak bangsa.
Ada banyak cara memperingati dan memaknai hari kemerdekaan. Tahun ini atas inisiatif Presiden RI Ketujuh, Ir. Joko Widodo – menginisiasi tradisi baru sebelum upacara bendera dilaksanakan, disusul suara beduk masjid, lonceng gereja, sirine dan dentum meriam di seluruh pelosok negeri beresonansi menandai peringatan detik-detik proklamasi. Tepat pukul 10.00, waktu yang sama pada 71 tahun lalu ketika Presiden RI Pertama, Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi. Sebagai pertanda bebasnya Indonesia dari segala penjajahan. MERDEKA!
Sejak saat itu, dengan bangga – simbol-simbol kenegaraan yang mengekspresikan cita-cita dan semangat seluruh rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan ditunjukkan kepada dunia. Sang Merah Putih salah satunya, berkibar di puncak-puncak gunung tertinggi Indonesia seperti Bromo, desa, kota, gedung pemerintahan dan swasta, sekolah, rumah ibadah, mall, toko besar dan kecil, pasar tradisional, rumah mewah, kampung padat penduduk, kendaraan roda empat dan dua, kapal, gerobak makanan, jalan raya dan gang sempit, tempat wisata, dermaga, pantai hingga dasar laut nan eksotis di Papua (Raja Ampat). Bahkan di kantor-kantor KBRI yang tersebar di seluruh dunia, baik dalam cuaca bersahabat maupun panas dan dingin menyengat. Sekolah-sekolah menengah atas berlomba mengirimkan putera-puteri terbaik mereka untuk bergabung dalam PASKIBRA di Istana Merdeka, atau setidaknya menjadi anggota pengibar bendera di sekolah masing-masing.
Dari beberapa peristiwa di atas menunjukkan banyak orang Indonesia tergerak untuk menaikkan benderanya dengan upacara yang begitu sakral, khidmat dan penuh perjuangan. Untuk apa? Mengapa mereka bersusah-payah mengibarkannya?
Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti keberanian, putih berarti kesucian. Merah melambangkan raga manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan jiwa dan raga manusia untuk membangun Indonesia.
Tak berhenti sampai makna filosofis, lalu bagaimana para pendiri negeri ini memutuskan warna merah putih sebagai bendera Indonesia? Apa yang menginspirasi mereka? Mari kita kembali ke era kerajaan-kerajaan di Nusantara. Warna merah-putih bendera negara diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur pada abad ke-13. Akan tetapi ada pendapat bahwa pemuliaan terhadap warna merah dan putih dapat ditelusuri akar asal-mulanya dari mitologi bangsa Austronesia mengenai Bunda Bumi dan Bapak Langit; keduanya dilambangkan dengan warna merah (tanah) dan putih (langit). Karena hal inilah maka warna merah dan putih kerap muncul dalam lambang-lambang Austronesia dari Tahiti, Indonesia sampai Madagaskar.
Merah dan putih kemudian digunakan untuk melambangkan dualisme alam yang saling berpasangan. Catatan paling awal yang menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton; menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singhasari.
Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan, mungkin sejak masa Kerajaan Kediri. Pembuatan panji merah putih pun sudah dimungkinkan dalam teknik pewarnaan tekstil di Indonesia purba. Warna putih adalah warna alami kapuk atau kapas katun yang ditenun menjadi selembar kain, sementara zat pewarna merah alami diperoleh dari daun pohon jati, bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), atau dari kulit buah manggis.
Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih. Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII.
Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII. Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.
Di zaman kerajaan Bugis di Bone, Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone. Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang. Panji kerajaan Badung yang berpusat di Puri Pamecutan juga mengandung warna merah dan putih, panji mereka berwarna merah, putih, dan hitam yang mungkin juga berasal dari warna Majapahit.
Selama masa perang di Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Kemudian, warna-warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa dan kemudian nasionalis di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme terhadap Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di Jawa pada tahun 1928. Di bawah pemerintahan kolonialisme, bendera itu dilarang digunakan. Bendera ini resmi dijadikan sebagai bendera nasional Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan diumumkan dan resmi digunakan sejak saat itu pula.
Sang Saka Merah Putih merupakan julukan kehormatan terhadap bendera Merah Putih negara Indonesia. Pada mulanya sebutan ini ditujukan untuk Bendera Pusaka, bendera Merah Putih yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, saat Proklamasi dilaksanakan. Tetapi selanjutnya dalam penggunaan umum, Sang Saka Merah Putih ditujukan kepada setiap bendera Merah Putih yang dikibarkan dalam setiap upacara bendera.
Bendera pusaka dibuat oleh Ibu Fatmawati, istri Presiden Soekarno, pada tahun 1944. Bendera berbahan katun Jepang yang diperoleh dari seorang Jepang. Ada juga yang menyebutkan bahan bendera tersebut adalah kain wool dari London. Bahan ini memang pada saat itu digunakan khusus untuk membuat bendera-bendera negara di dunia karena terkenal dengan keawetannya. Bendera ini berukuran 276 x 200 cm. Sejak tahun 1946 sampai dengan 1968, bendera tersebut hanya dikibarkan pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI.
Sejak tahun 1969, bendera itu tidak pernah dikibarkan lagi dan sampai saat ini disimpan di Istana Merdeka. Bendera itu sempat sobek di dua ujungnya, ujung berwarna putih sobek sebesar 12 X 42 cm, sementara ujung berwarna merah sobek sebesar 15x 47 cm. Lalu ada bolong-bolong kecil karena jamur dan gigitan serangga, noda berwarna kecoklatan, hitam, dan putih. Karena terlalu lama dilipat, lipatan-lipatan itu pun sobek dan warna di sekitar lipatannya memudar.
Setelah tahun 1969, yang dikerek dan dikibarkan pada hari ulang tahun kemerdekaan RI adalah bendera duplikatnya yang terbuat dari sutra. Bendera pusaka turut pula dihadirkan namun ia hanya ‘menyaksikan’ dari dalam kotak penyimpanannya.
Demikianlah rakyat Indonesia memaknai kemerdekaan. ‘Ayo Kita kembali ke Merah Putih’ berarti kembali melihat sejarahnya untuk direnungi dan diresapi, sehingga pada kesempatan ini dan seterusnya kami dapat lebih menghargai bendera merah putih. Suatu kebanggaan bagi Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Bendera merah putih bukan sekedar bendera, rakyat harus berjuang hingga tetes darah penghabisan agar dapat mengibarkannya sebagai bendera negara Republik Indonesia.
“…Siapa berani menurunkan engkau.
Serentak rakyatmu membela.
Sang Merah Putih yang perwira.
Berkibarlah slama-lamanya! ….“
Artikel ini dipersembahkan oleh guruexpat.com